ISLAMISASI ILMU PENGETAUAN
Hegemonis Sains dan teknologi barat atas masyarakat negara-negara di seluruh dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan kehidupan masyarakat. Meraka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola pemikiran dari sains barat, sehingga cara berfikirnya, cara pandangnya, dan persepsinya terhhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi inflikasinya menjadi terbaratkan. Dalam sejarahnya, sains barat modern dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan tradisi pemikiran agama (kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling meyolok yang disipkan kedalam sains barat modern itu adalah sekularisasi. Konsep sekulasasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para ilmuan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok intelektual lainnya, dan masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekularisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini publik pada tingkat global.
Ada berapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan konsep sekularisasi pengetahuan barat modern itu. Mereka adalah kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim ketika mengikuti arus perkembangan sains modern dari Barat, mereka sadar maupun ”terpaksa” harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler yang sangat kontras. Selama ini agama Islam dipedomani sebagai jublak dalam menempuh kehidupan sehari-hari. Tidak ketinggaln juga, agama diyakini memiliki peranan untuk mewarnai bangunan ilmu pengetahuan dan unsur-unsur lain yang terikat. Namun kenyataannya mansyarakat muslim seolah dipaksa untuk melaksanakan ajaran sekuler (sekularisme) dalam seluk beluk kehidupan lantara derasnya arus sekularisasi. Secara riil sekarang ini mereka semakin menjauhi nilai-nilai religius islam. Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan para pemikir muslim, sebab bisa membahayakan keimanan (akidah) islam.
Berkaitan dengan kepribadian itu, mereka sedang menggagas islamisasi pengetahuan sebagai upaya untuk menetralisir pengaruh sains barat modern sekaligus menjadikan islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Mereka berupaya membaersihkan pemikiran-pemikiran muslin dari pengaruh negatif kaidah-kaidah berfikir ala sains modern, sehingga pemikiran muslim benar-benar steril dari konsep sekuler. Al attas mengatakan, bahwa islamisasi ilmu berarti pembahasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan sekuler. Banyak pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan daat digeser dan diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan islam, manakala ”proyek islamisasi pengetahuan” benar-benar digarap secara serius dan maksimal. Sebagai tindak lanjut dari gagasan-gagasan normatif itu, para pemikir muslim harus berupaya keras merumuskan islamisasi pengetahuan secara teoritis dan konseptual yang didasarkan pada gabungan antara argumentasi rasional dan petunjuk-petunjuk wahyu.
Usaha tersebut sangat berat, karena harus mengarahkan seluruh potensi para ilmuan muslim yang mengacu pada petunjuk wahyu Tuhan.ini baru beban secara teknis, belum lagi beban secara psikologis. Secara psikologis mengembalikan cara pandang atau persepsi masyarakat muslim terhadap konsep-konsep ilmu pengetahan yang telah lama tersekulerkan dan terbaratkan menuju persepsi yang sarat nilai-nilai islam bukanlah pekerjaan yang ringan. Pekerjaan ini membutuhkan keuletan-keuletan sikap, sosialisasi yang gencar, proses secara kontinuitas, disamping tentu saja argumentasi-argumrntasi yang tidak saja cukup rasional, tetapi lebih itu semua seyogiyanya mampu mengungguli argumentasi-srgumentasi yang dibangun para ilmuan barat. Kita menyadari, bahwa ilmuan-ilmuan barat dalam mendasari ilmu pengetahuannya dikenal sangat rasional, mengingat bahwa salah satu pendekatan yang diandalkan dalm membangun kerangka ilmu pengetahuan adalah pendekatan rasional. Hanya saja masih ada celah-celah hasil pemikiran mereka itu, jika dicermati secara mendalam apalagi ditinjau dari perspektif pesan-pesan islam.
Celah- celah kelemahan itlah yang dijadikan alasan perlunya islamisasi. Upaya islamisasi pengetahuan ini memiliki tujian yang jelas sekali, yakni secara substansi adalah untuk meluruskan pemiiran-pemikiran orang islam dari penyelewengan-penyelewengan sains modern yang sengaja ditanamkan. Kejelasan tujuan ini sebenarnya merupakan kekuatan tersendiri dalam melakukan proses memformulasikan islamisasi pengetahuan agar langkah-langkah yang ditempuh para ilmuan muslim dapat terarah mencapai sasaran yang tepat dan benar. Untuk itu Fazlur Rahman manyatakan, bahwa tujuan kaum muslimin untuk mengislamisasikan beberapa ilmu penetahuan tidak akan bisa dicapai sepenuhnya, kecuali bila mereka secara efektif melaksanakan tugas intelektual memerinci suatu metafisika islam yang berdasarkan Al-Qur’an. Suatu pandangan dunia islam pertama-tama haruslah, kalaupun untuk sementara, diupayakan apabila berbagai lapangan khusus dari upaya-upaya intelektul mau dikoherenkan sebagai dijwai oleh Al-Qur,an.
Metafisika islam, sebagaimana mengikuti petunjuk-petunjuk wahyu Allah (Al-Qur’an dan Sunnah) bukan hanya terdiri atas apa yang disebut sebagai sesuatu di baik alam secara kealaman, melainkan juga kalau dijabarkan bisa meliputi, persoalan-persoalan spiritual, kegaiban, eskotologis, dan berita-berita yang bakal terjadi di dunia yang penuh misteri. Untuk mengungkapkan sesuatu yang berada dibalik alam saja yang membutuhkan pengerahan segala kekuatan intelrktual manusia dan itupun tidak mungkin mampu menjangkau keseluruhan. Objek dibalik alam itu mungkin yang bisa dijangkau dan diungkapkan dengan penjelasan-penjelasan yang memuaskan hanya sebagian kecil, karna tidak kelihatan secara indrawi. Selebihnya, masih tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan oleh kemampuan akal manusia. Lagi pula, biasanya setiap suatu persoalan misterius itu bisa juga menghasilkan jawaban-jawaban yang berfariasi (lebih dari satu jawaban). Apalagi jika kemudian kita mengungkap pesoalan spiritual, kegaiban, ekatologis, dan berita-berita masa depan akan jauh lebih sulit lagi. Dalam persoalan-persoalan demikian konstribusi akal kecil sekali, hampir semua didasarkan pada petunjuk-petunjuk wahyu Allah yang memang lebih konperhensif kandungannya dibanding dengan buku-buku ilmiah.
Upaya perincian metafisika islam tersebut kendatipun berat, harus tetap diupayakan secara maksimal mengingat upaya ini merupakan konsentrasi dari proyek islamisasi pengetahuan. Sementara itu, menurut Ismail Razi Al-Faruqi, kewaiban pemikir muslim adalah melakukan islamisasi, untuk mendefinisikan dan menerapkan relevansi islam hingga ke item itemnya di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih jauh lagi, dia telah menawarkan konsep operasipnalnya berupa langkah-langkah proses islamisasi ilmu pengetahuan:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern: pengeraian kategoris
2. Survei disiplin ilmu
3. Penguasaan khazanah islam: sebuah ontologi
4. Penguasaan khaznah islam terhadap analisis
5. Penerapan relevansi islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya dimasa kini
7. Penilaian kritis terhadap khazanah islam: tingkat perkembangannya dewasa ini
8. Survei permasalahan yang yang dihadapi umat islam
9. Analisis kreatif dan sintetis
10. Penuangan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka islam: buku-buku dasar tingkat universitas
11. Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamkan.
Langkah-langkah yang ditawarkan ini memang cukup operasional, untuk memperoleh pelaksanaan islamisasi ilmu pengetahuan, meskipun begitu masih ada pemikir yang tidak menyepakati tawaran tersebut dikalangan yang dikenal ikut merintis islamisasi penetahuan, seperti Zainiddin Sardar. Dia memiliki tawaran sendiri dalam proses pelaksanaan islamisasi ilmu pengetahuan dan kebetulan berbeda dengan konsep Ismail Razi Al-Faruqi. Persoalan ini sebenarnya hanya menyanhkut perbedaan teknis semata yang tidak perlu dipertajam dalam bahasan ini. Sedangkan substansi persoalannya relatif sama, kedua-duanya menghendaki upaya maksimal untuk melaksanakan proses islamisasi pengetahuan. Kesepakatan ini tercapai setelah keduanya sama-sama merasakan keprihatinan terhadap pengaruh perkembangan sains modern terhadap masa depan tatanan kehidupan umat islam. Mereka mengalami ketertinggalan dalam segala bidang kehidupan, bahkan yang paling parah telah timbul gejala, bahwa mereka semakin jauh dari tatana islam yang semestinya. Hal ini merupakan gejala utama yang ingin diluruskan melalui islamisasi pengetahuan.
Oleh karena itu, apabila gagasan bagi modernisasi ilmu-ilmu islam yang lama dan islamisasi ilmu-ilmu yang baru mau diciptakan, maka kedua tonggak orisinal islam -Al-Qur,an dan Sunnah- mesti ditegakkan kembali dengan tegar agar semua konformitas-konformitas dan deformitas-deformitas islam historis bisa dinilai dengan jelas olehnya. Bagaimanapun bagi kaum muslim, Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber atau landasan bagi aktivitas berfikir mereka. Kedua sumber itu harus senantiasa difungsikan untuk menjadi pedoman atau juklak dalam menilai aktivitas berfikir mereka mulai dari kerangka berfikir, tujuan berfikir, cara-cara berfikir dan orientasi berfikirnya. Dari kedua sumber itulah bisa diketahui apakah kegiatan berfikirnya mengarah pada hasil-hasil yang negatif-destruktif yang bertentangan dengan ajaran islam. Suatu hal yang naif sekali, bila ada keinginan untuk melakukan ilamisasi pengetahuandengan mengabaikan kedua sumber tersebut. Sebagai sumber, keduanya jangan sekedar dijadikan pertimbangan aktivitas berfikir, tetapi harus dijadikan tempat berpijak.
Berdasarkan fungsi Al-Qur’an dan Sunnah tersebut dalam kegiatan berfiir manusia muslim, maka tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat mengklaim dirinya sepenuhnya islami, bila metodologi yang digunakan tetap berakar dari pradigma sains modern. Metode keilmun ini harus diislamisasikan terlebih dahulu, sebab bagi orang-orang non-mislim barat, metode ini menghasilkan ilmu yang sifatnya netral: walaupun kebenarannya sudah dianggap objektif, namun. Objektivitas itu belum diangap dapat diterima oleh Allah, karena kebenaran hanya ditunjukkan atau diberitahukan dalam Al-Qur’an. Kebenaran yang dicapai metode barat, jika ternyata riil, maka hanya sementara sifatnya, dan kebenaran yang objektif tersebut suatu ketika tertandingi oleh kebenaran yang juga mengklaim objektif. Dalam kenyataanya kebenaran objektif bisa berhadapan dengan kebenaran objektif secara berlawanan. Ini berbeda dengan kebenaran yang ditunjukkan oleh wahyu. Kebenaran yang digariskan Al-Qur’an itu sifatnya kokoh, pasti dan mutlak, sehingga tidak dapat ditandingi oleh kebenaran lainnya. Hanya saja, para ilmuan dan pemikir muslim dibebani untuk mencari atau menggali bukti kebenaran itu. Sedangkan kebenarannya sudah ada, tinggal menelusuri bukti-buktinya.
Bukti kebenaran itu dapat dicapai melalui percobaan-percobaan ilmiah terhadap petunjuk-petunjuk Al-Qur;an. Maka ada perbedaan mekanisme kerja dalam mencapai kebenaran di kalangan ilmuan barat dengan ilmuan muslim. Jika metode keilmuan barat dipakai untuk medapatkan kebenaran objektif yang sifatnya masih sementara maka kebenaran wahyu telah ditunjukkan lebih dahulu secara pasti, baru dicari bukti-bukti kebenarannya melalui metode-metode tertentu. Dengan kata lain, kebenaran yang dicapai melalui metode keilmuan barat berada di belakang sebagai jawaban terhadap upaya-upaya penggalian ilmu pengetahuan, sedangkan kebenaran wahyu berada di muka (telah ditentukan) baru kemudian dicari bukti-buktinya melalui pendekatan atau metode tertentu. Implikasinya, kita tidak perlu mencari kebenaran islam, karena kebenaran itu sudah ada. Kita hanya diwajibkan mencari dan menjelaskan bukti-buktinya. Meskipun demikian, kita juga distimulasi untuk melakukan penggalian-penggalian untuk ilmu yang sifatnya pengembangan agar dapat mencapai kemajuan dan kedsejahtraan manusia secara keseluruhan tanpa diskriminatif sedikitpun.
Hal ini merupakan konsep ”universalisme” ilmu pengetahuan islam sesuai dengan misi islam yang berupaya memberikan rahmat bagi smesta alam. Konsep ini sebenarnya, jika dicermati secara kebahasaan tidak hanya manusia saja yang perlu di sejahterakan, tetapi juga haris melindungi kelestarian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Belakangan ini, lingkungan hidup telah menjadi rusak dan telah memusnahkan berbagai jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan akibat penerapan sains barat yang tidak memiliki kepedulian dan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Lingkungan hidup manusia menjadi tidak ramah, bahkan garang dengan musnahnya sebagian besar hewan dan tumbuhan itu. Alam terasa tidak nyaman lagi untuk kehidupan manusia. Atas dasar ini, ilmu pengetahuan dalam islam harus dibangaun dengan misi mengedepankan kesejehteraan manusia dan tetap menjaga kelestarian alam. Ilmu tersebut tidak boleh menyebabkan kerusakan atau membahayakan umat manusia maupun kelompok tertentu, seperti yang terjadi pasailmu barat.
”Senjata-senjata epistimologi” yang dipakai ilmuan barat untuk membawa deislamisasi pikiran kaum muslim selalu sama, dan ini adalah –selain dari prinsip-prinsip filsafat dan ilmu pengetahuan sekuler yang memproduk dan mengasuh mereka- antropologi, sosiologi, linguostik, psikologi, serta prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan ala barat. Jika prinsip-prinsip dan metode-metode pokok dari ilmu-ilmu ini tidak dirancang berdasarkan formula islamisasi, maka ilmu-ilmu tersebut akan tetap terus berbahaya bagi kemajuan kesejahteraan umat islam. Sementara itu kita kekurangan konsep. Karena kurangnya konseptualisasi inilah kita tidak dapat bertahan dari serangan gencar pemikiran-pemikiran sekuleris. Selama ini kita hanya mengandalkan ajaran-ajaran islam yang bersifat normatis tanpa ada usaha yang berarti menteorisasikan menjadi konsep-konsep yang mapan. Padahal usaha islamisasi pengetahuan tidak aka terwujud, jika tidak disertai konsep-konsep teoritis yang jelas. Kita tidak bisa melaksanakan islamisasi penetahuan hanya dengan menunjukan adanya ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi yng berkaitan dengan pengetahuan tertentu. Kita perlu mulai membangun konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berdasarkan islam mulai dari kerangka palinga awal hingga yang menyentuh inti pengetahuan.
Oleh karena itu, formulasi ilmu kontemporer yang perlu dibangun bukan hanya harus mensintesiskan apa yang disebut dengan ”sains keagamaa” dengan ”sains sekuler”, fisik dan metafisik, tetapi harus menempatkan aspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan. Penempatan aspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan ini untuk memperoleh bimbingan dari Tuhan dalam membangun ilmu pengetahuan. Hanya ilmu pengetahuan yang terbimbing oleh Tuhan sajalah yang mampu menyelamatkan manusia dari tindakannya sendiri, sebab ilmu ini selalu diwarnai oleh kontrol-kontrol islam secara ketat mengingat ilmu ini memiliki keberpihakan kearah kesejahtraan manusia dengan kuat dan tanpa kompromi. Penalaran manusia yang terbimbing oleh Tuhan akan menghasilkan pemikiran-pemkiran yang maju dan selamat bagi peradaban manusia. Kedua kondisi ini sebagai kondisi yang ideal bagi kelangsungan suatu peradaban: pemikiran yang maju dapat mengakibatlkan kejayaan peradaban tetapi keharmonisannya lebih ditentukan oleh pemikiran yang menyandarkan pada aturan Tuhan (pemikiran yang selamat).
Hal ini merupakan suatu manfaat islamisasi pengetahuan. Selanjutnya, islamisasi pemgetahuan memberikan keuntungan berupa epistimologi islam. Maka islamisasi pengetahuan perlu diupayakan secara maksimal agar dapat mewujudkan fungsi ganda, yakni sebagai penyelamat bagi umat islam, khususnya dari penyelewengan-penyelewengan penerapan sains barat, dan sebagai pemberi alternatif tentang cara-cara memperoleh penhgetahuan secara dinamis, mencerminkan nilai-nilai ketakwaan, kreatif dan produktif yang disebut dengan epistimologi islam. Namun, kedua fungsi itu tidak secara otomatis terwujud lantaran islamisasi pengetahuan. Islamisasi pengetahuan yang mampu mewujudkan kedua fungsi tersebut adalah islamisasi pengetahuan yang didasarkan dan dijalankan atas sebuah komitmen menyelamatkan sekaligus menyempurnakan kondisi umst islam. Islamisasi pengetahuan yang tidak didasarkan komitmen tersebut hanya akan terwujud dalam nama maupun selogan-selogan islam, tetapi tidak memiliki fungsi sama selkali. Islamisasi pengetahuan harus diproyeksikan untuk menjalankan kedua fungsi tersebut, dan bila ini benar-benar terjadi, berarti menentang tonggak intelektual barat.
Disamping itu, islamisasi pengetahuan juga berfungsi menghindarkan sikap latah dengan meniru sistem babrat. Sikap meniru sistem barat itu sungguh berbahaya. Jika kita meniru sistem tersebut secara membabi buta tanpa membangun infra struktur konseptual kita sendiri yang kikuh, maka secara tidak langsung kita telah menjadi sahabat pemberontak-pemberontak intelektual barat yang telah berusaha keras mencemarkan apa yang dinamakan pengetahuan ”religuan”. Dalam kasus ini, kita tidak dapat menyelamatkan muka kita hanya dengan menambahkan awalan yang tidak berarti –”islamisasi”- terhadap seluruh batang tubuh pengetahuan barat. maka upaya islamisasi harus menyentuh akar persoalannya yang paling utama, sehinga bisa jadi dilakukan pembongkaran-pembongkaran terhadap konsep ilmu pengetahuan selama ini yang kita pegangi untuk mentransformasikan kedalam konsep baru yang dipengaruhi oleh islam.
Sebenarnya islamisasi pengetahuan itu masih menjadi polemik di kalangan umat islam, seolah-olah layaknya barang antik yang baru diperkenalkan. Pembentukan dan proses islamisasi ilmu-ilmu sisial belum mendapat kesepakatan penuh dari umat islam. Islamisasi ilmu-ilmu sosialpun –yang sebenarnya lebih memungkinkan, daripada ilmu-ilmu eksakta- masih dipertentangkan oleh pemikir muslim; ada yang proislamisasi, bahkan mempropagandakan dan ada yang menentangnya. Para pemikir seperti Ismail Razi Al-Faruqi, Zainuddi Sardar, dan Muhammad Al-Naquib Al-Attas merupakan ”pelopor” proyek islamsasi pengetahuan, meskipun konsep-konsep operasional yang ditawarkan berbeda. Kemudian para pemikir, seperti Mohammed Arkoun dan Aziz Al-Azmeh menentangnya. Sedangkan Fazlur Rahman tidak jelar kecendrungannya. Dia cenderung menolaknya disasu sisi, tetapi disisi lain dia memberikan saran-saran tentang cara melakukan islamisasi pengetahuan. Mereka semua memiliki alasan masing-masing untuk mempertahankan sikapnya.
Apalagi dalam ilmu-ilmu eksakta, kebanyakan para ilmuan islam kalau tidak salah malah seluruhnya tentu menolaknya, kaena ilmu-ilmu eksakta bebas nilai dan baku. Paling hanya penggunaannya yang dikaitkan dengan islam dan ini sangat memungkinkan, karena dalam tahap rekayasa. Dalam tahapan rekayasa ini memang ada peluang untuk memasukkan nilai-nilai islam, seperti ketika seorang dikter muslim akan menyuntik pasien; dia terlebih dahulu membaca bismillah, atau sebuah team dokter muslim yang akan melakukan operasi lalu diawali dengan do’a bersama. Dengan begitu nilai-nlai agama lain juga dapat dimasukkan dengan cara yang relatif sama. Tetapi tentang jenis obat apa yang harus dipakai untuk mengobati penyakit tertentu, tentu tidak ada ruang bagi islamisasi pengetahuan. Dalam hal ini kaidah-kaidah ilmu murni yang dipakai pertimbangan dalam memutuskan.
Sekedar untuk diketahui, pada saat mengomentari upaya islamisasi pengetahuan tersebut Mohammed Arkoun mengatakan, bahwa usaha yang bertujuan menjadikan agama suatu ilmu malah mengubah ilmu menjadi agama. Kekhawatiran ini bisa menjadi kenyataan dikalangan umat islam. Pad tahap awal, seorang berusaha merumuskan teori-teori pengetahuan berdasarkan wahyu yang bersifat normatif. Namun, teori tersebut dianggap saklar, suci, benar mutlak dan sejenisnya. Padahal sebagai teori pengetahuan tidak lepas dari kontribusi para ilmuan yang bisa benar atau sebaliknya salah. Implikasinya bisa semakin fatal ketika teori tersebut diangap saklar, padahal ternyata harus menyerah dihadapan teori lain dari pemikiran manusia yang lebih valid kebenarannya. Apakah tidak malah akan menjeebak umat islam dalam keraguan terhadap ”kebenaran agamanya”, jika terjadi kasus tersebut. Inilah sesungguhnya bahaya islamisasi pengetahuan yang dirasakan para penenntangnya terutama Arkoun.
Lantaran kekhawatiran inilah, Arkoun lebih tertarik pada strategi mengubah cara berfikir yang efektif. Dia menegaskan, bahwa kita harus berfikir secara baru, dengan bahan-bahan yang baru pula. Sedangkan Fazlur Rahman menyarankan agar kita tidak usah terpikat untuk membuat pete-peta dan bagan-bagan mengenai cara menciphtakan ilmu islami. Marilah kita investasikan waktu, energi dan uang untuk menciptakan, bukan proposisi-proposisi, melainkan pikiran-pikiran. Tetapi sebenarnya kita tidak membahas setiap bidang ilmu pengetahuan yang berlebel islam mestinya harus melalui islamisasi pengetahuan dan selanjutnya epistimologi islam, seperti ilmu pendidikan islam. Tanpa islamisasi pengetahuan, bagaimana mungkin merumuskan konsep-konsep pendidikan islam secara ilmiah.
Usaha islamisasi pengetahuan tidak akan memiliki makna yang signifikan, jika tidak dilanjutkan dengan merumuskan epistimologi islam. Tetapi sebelum merumuskan epistimologi islam kiranya perlu mengenali karakter ilmu dalam islam.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh mengenai islamisasi ilmu pengetahuan, kurang lebih ada 2 tokoh yang banyak berperan dalam islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu Syed Al-Naquib Al Attas dan Ismail Razi Al Faruqi, beberapa orang memandang Ziauddin Sardar juga termasuk penggagas islamisasi ilmu, oleh karena itu akan dijelaskan lebih lanjut mengenai biografi kedua tokoh tersebut dan pemikitannya mengenai islamisasi ilmu pengetahuan.
A. Muhammad Al-Naquib Al-Attas
I. Biografi
Beliau adalah ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 september 1931. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjawab sebagai Menteri Besar Johor.
Pendidikan formal beliau dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Universitas Malaya, Malaysia kajian ilmu-ilmu social (1057-1959). MA dari Mc Gill University Kanada di bidang teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies Universitas London Inggris (1966) dengan Disertasi “The Mysticism of Hamzah Fansuri”.
II. Pemikiran Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia termasuk dunia islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban barat. Sementara peradaban Barat sendiri telah melahirkan kebinggungan, kehilangan hakikat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, kekacauan dalam Tiga Kerajaan Alam, kehilangan kedamaian serta keadilan. Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisisme lalu diilmiahkan dalam metodologi.
Kebenaran dan realitas dalam panadangan Barat tidal diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang didukung dengan premis-premis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia , sebagai makhluk fisik dan makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktekkan Islam. Pengetahuan barat tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.
Muhammad Al-Naquib Al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian :
a. Ilmu-ilmu agama
1. Al-Qur’an: qiraat, tafsir dan ta’wil
2. Hadist: sirah Nabawi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif
3. Syariah: hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan praktek-praktek Islam
4. Teologi: tauhid (tentang Tuhan, wujudNya, sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya)
5. Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology
6. Ilmu-ilmu linguistic, tata bahasa, leksikografi, dan kesustraan
b. Ilmu-ilmu rasional
1. Ilmu-ilmu kemanusiaan
2. Ilmu-Ilmu alamiah
3. Ilmu-ilmu terapan
4. Ilmu-ilmu teknologi
Ide Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci lalu dimasuki unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsure-unsur dan unsure-unsur pokok, yang membentuk kebudayaan barat, dan ilmu-ilmu yang dkembangkan; kemudian memasukan unsure-unsur dan konsep-konsep Islam.
Islamisasi awal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah islamisasi bahasa, karena bahasa sesuatu yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan suatu masyarakat. Bahasa Islam yang dimaksud beliau adalah bahasa Arab yang baru. Karena bahasa Arab yang lama mengunakan konsep-konsep dan memuat pesan-pesan dalam world-view jahiliyah. Bahasa Arab yang baru adalah bahasa Alquran yang mengubah sruktur konseptual jahiliyah dan mempunyai sifat ilmiah.
Istilah-istilah Islam merupakan pemersatu umat muslim sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah” bukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau “Tuhan” dengan “T” besar ala Nurcholis Madjid.
Tentang surat Al-Maidah ayat 3, tentang kesempurnaan agama Islam, beliau pahami sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah menjadi suatu tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan dan perkembangan.
Wahyu sendiri dilengkapkan pada masa hidup nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menafsirkan hukum-hukum melalui pola hidup beliau. Hukum wahyu itu beliau polakan dalam ajaran, ucapan dan perbuatan. Para sahabat dan orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau berlaku dengan ilham ilahi sehingga dapat dijadikan standard a criteria bagi masa akan datang.
B. Ismail Razi Al-Faruqi
I. Biografi
Islamil Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme, ia memulai studi di College des Freres Libanon. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia peroleh daTi universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galile yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat terhenti.
Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun 1948, hingga mencapai gelar mater dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya ia kembali memperoleh gelar master di Harcard University, juga dalam bidang falsafat. Untuk memperdalam keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Selama beberapatahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi keislaman di McGill University (1958-1961) dan di Pana Central institute of Islamic Research, Karachi, sebagai tamu untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama di the University of Chicago, sebagai lektor kepala llmu agama pada Saracus University (1964-1968).
Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pemah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuan. Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut Intemasional pemikir Islam do Washington; dan presiden Institu studi Lanjutan Washington. Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978.
II. Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an. Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya menggilimunir unsurunsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi idiologi, makna serta ungkapan sekuler Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa adalah fakultas pemahaman yang mencakup seluruh fungsi gnosologi seperti ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dsb. Manakala kehendak-kehendak tersebut diungkap dengan kata-kata secara langsung oleh Tuhan kepada manusia dan manakala sebagaimana pola Tuhan dalam penciptaan atau "hukum alam". Dan bila kita kaitkan dengan prinsip telelogi artinya dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu ciptaan yang teratur, bukan chaos. Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud. Pemenuhan karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
Prinsip kedua yaitu tidak ada kontraksi yang hakiki melindunginya dari kontadiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skepetisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki menandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pemah dapat diketahui.
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hari intelektual. Ia memaksa untuk mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan wallahu' alam karena ilia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang dapat dikuasainya sepenuhnya di saat manapun.
Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul ide untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dan juga melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua ide Barat bahkan kadang-kadang tanpa filter yang akhirnya menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah yang kental mengalami proses sukurelisasi yang berobsesi memisahkan kegiatan sekuler dengan kegiatan agama akhirnya mengantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai keagaaman.
Semangat ilmuan moderen (Barat) adalah bahwa di bangun dengan fakta-fakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilainilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian mundul ilmu dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid. Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia, ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia dan ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan menentukan presepsi dan susunan realita.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai disiplin-disiplin moderen
2. Menguasai khazanah Islam
3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan moderen
4. Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen
5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan: Tugas petama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistim-sistim terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim yang dekuler.
Dengan perpaduan kedua sistim pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistim Islam menjadi pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkan sistim Islam. Al-Faruqi dalam mengemukakan ide Islamisasi ilmu pengetahuan menganjurkan untuk mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi siswa. Hal ini akan membuat para siswa merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh kepercayaan kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah.
Bagi AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim. Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah:
a. Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah knis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
b. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c. Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini.
e. Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah,dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
l. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar.
Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan. Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan usaha menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam. Maka rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, walaupun dilain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT. Dan tidak sedikit pula meresponinya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya seperti Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali tidak kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan.
Sebagian fakta berpendapat bahwa pemikir liberalisme Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasan Hanafi atau Arkun dapat dianggap sebagai bentuk pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan. Sementara kelompok lain menolaknya seperti, IIIT bahkan mereka mengkritik pemikiran yang dikemukakan oleh orang tesebut. Salah senanggap atas gagasan al-Faruqi adalah Fazlur Rahman, ia tidak sependapat dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, menurutnya yang perlu dilakukan adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiki kapasitas berpikir konstruktif dan positif.
Adapun menurut Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashiru sependapat dengan Al-Faruqi, karena menurutnya seorang pemikir akan sangat dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajarinya (atau ilmuan yang mendidiknya). Kalau seorang mempelajari ilmu yang berbasis sekularisme, maka sangat mungkin pendangan-pandangan juga sekuler. Adapun penanggap lain adalah Sardar. Ia menyepakati gagasan yang dikemukakan AI-Faruqi. Namun, menurutnya gagasan Al-Faruqi mengandung cacat fundamental. Sardar mengisyaratkan bahwa langkah Islamisasi yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan moderen bisa membuat kita terjebak ke dalam westemisasi Islam. Sebabnya menurut Sardar adalah AI-Faruqi terlalu terobsesi untuk merelevankan Islam dengan ilmu pengatahuan moderen. Upaya ini dapat mengantarkan pada pengakuan ilmu Barat sebagai standar, dan dengan begitu upaya islamisasi masih mengikuti kerangka berfikir (made of thought) atau pandangan dunia (world view) Barat. Karena itu percuma saja kita melakukan islamisasi ilmu kalau semuanya akhirnya dikembalikan standanya pada ilmu
pengetahuan Barat.
Terlepas dari semua polemik yang terjadi diseputar islamisasi ilmu pengetahuan, sebetulnya islamisasi ilmu pengetahuan yang dimunculkan Al-Furuqi, sebenarnya sederhana saja. Para pendukung ide ini ingin menekankan muatan dimensi moral dan etika dalam batang tubuh ilmu pengetahuan seperti yang dipesankan Al-Qur'an. AI-Faruqi tampaknya melihat bahwa untuk membangun umat tidak dapat dimulai dari titik nol dengan menolak segala bentuk hasil peradaban yang sudah ada. Pembentukan umat malahan harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari hasil peradaban yang sudah ada dan sedang berjalan. Namun, segala bentuk nilai yang mendasari peradaban itu harus ditambah dengan tata nilai baru yang serasi dengan hidup ummat Islam sendiri yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. AI-Faruqi melihat hanya dengan cara seperti ini visi tauhid yang telah hilang akan dapat kembali ke dalam misi pembentukan ummat. lnilah barangkali yang merupakan pokok pemikiran Al-Faruqi dalam bidang pendidikan sebagaimana yang di kemukakannya alam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Pendapat yang tidak kalan pentingnya yang berkenaan dengan proses islamisasi adalah menurut S.A. Ashraf, para ilmuan masa kini selayaknya menyadari bahwa pengembangan kegiatan ilmuan Islam yang ideal harus didasarkan pada sejumlah asumsi dasar sebagai berikut ini: "Pertama konsep tentang manusia menurut agama Islam sangat lengkap dan lebih baik dari konsep tentang manusia lainnya. Menurut ajaran Islam manusia berkemungkinan untuk menjadi Khalifullah dengan cara menanamkan dan mengamalkan beberapa sifat Tuhan. Oleh karena semua dimensi sifat Tuhan itu tidak terbatas, maka pengembangan aspek moral, spritual dan intelektual manusiapun tidak terbatas. Kedua, oleh karena pengetahuan merupakan kunci kemajuan dan pengembangan tersebut. Maka Islam tidak menghalangi upaya untuk menuntut pengetahuan. Ketiga, pengembangan tersebut harus bersifat menyeluruh mendayagunakan potensi intelektual, pengembangan yang tidak menyeluruh akan menimbulkan ketidakseimbangan. Keempat, aspek spritual, moral, intelektual, imaginatif emosional dan fisikal manusia harus diperhatikan dalam upaya pengkaitan berbagai disiplin ilmu. Kelima, pengembangan kepribadian manusia harus dilakukan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam Oleh karena itu, penataan disiplin ilmu dan penyusunan pokok batasan harus dirancang dengan mempertimbangkan manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk yang harus hidup berdampingan secara damai dengan alam" Pendapat di atas sangat menarik untuk direalisasikan alam rangka Islamisasi ilmu pengetahuan.
Memang terdapat banyak kelemahan struktural dalam pengembangan ilmu dikalangan masyarakat muslim dewasa ini, semua kelemahan tersebut perlu diperbaiki oleh para perancangnya. Para ilmuan muslim menyadari bahwa pengetahuan Barat itu buuruk dan pengetahuan Islam itu baik. Tetapi terlalu sedikit analisis terhadap kemampuan dan karya sendiri. Sebagaimana dikemukakan Ahmad. Bahwa beberapa ilmuan muslim, misalnya Al-Faruqi menyarankan agar ilmuan sosial muslim memainkan peran revolusioner, dan menghendaki pengembangan peran yang mencakup wilayah agama. Tentu saja pandangan muslim terhadap hal ini, ditentukan oleh sejauh mana pengetahuan mereka tentang masyarakat sebagaimana adanya bukan sebagaimana seharusnya (seperti yang sering dibayangkan oleh para ahli teologi).
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini lahir karena AI-Faruqi sendiri konsisten dengan konsep tauhidnya dan karena ingin memumikan ajaran tauhid Al-Faruqi menginginkan apa yang dibawa barat tidak harus diterima secara mentah oleh umat Islam. Di samping itu konsep ini muncul karena melihat kondisi obyektif umat Islam yang mengalami kemandegan dalam pemikiran yang disebabkan oleh kolonialisme Barat.
KESIMPULAN
Sebagaimana diungkapkan dalam pembuka tulisan ini, posisi gerakan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah “kontra-hegemoni” sekaligus “ideologi perlawanan” terhadap upaya dominasi peradaban Barat yang mencengkeram baik lewat kolonialisme, neo-kolonialisme maupun “invasi pemikiran”, jelas sangat penting. Lebih tegas, ia adalah sesuatu yang sah secara intelektual maupun politis. Bahkan merupakan hak dunia Islam, yang sayangnya, memang sebagian besar berada di dunia ketiga–sebagaimana bagi entitas kebudayaan dan peradaban lainnya–untuk mempertahankan identitas maupun jatidiri kebudayaan dan peradabannya dengan merujuk pada akar tradisinya sendiri.
Satu hal yang kiranya perlu tetap disadari, bahwa setiap hasil pemikiran manusia, selalu bersifat historis: terikat dengan ruang dan waktu yang melingkungi sang pemikir. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, tentulah memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan bingkai ruang dan waktunya. Itu merupakan sebuah upaya solusi terhadap berbagai problema keumatan yang memang nyata keberadaannya.
Menjadi penting bagi kita, pada satu sisi, mengapresiasi dan membuka ruang dialog bagi gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai suatu sumbangan sekelompok sarjana Muslim terhadap peradaban umat manusia. Dan pada sisi lain, menjaga agar gerakan tersebut berada pada bingkai kerja ilmiah, yang ukuran kebenarannya adalah sejauh mana ia bisa konsisten terhadap premis-premis dasar yang dibangunnya. Juga sejauh mana ia bisa mengatasi ujian dan verifikasi ilmiah dari para pengkritiknya. Dan tentu saja, seberapa jauh ia bisa memberi maslahat bagi umat manusia; setidaknya memecahkan persoalan-persoalan yang dijadikan isu utama. Sangat naif, jika kemudian terjadi penggeseran orientasi gerakan ini, dari yang sifatnya ilmiah menjadi politis dan ideologis. Sehingga gagasan tersebut menjadi gagasan yang tertutup karena dianggap sudah final kebenarannya atau bahkan diyakini tidak bisa salah karena “berasal dari Tuhan Yang Maha Benar”. Wallahu a’lam bisshawwab.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Amin, Filsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Al-Attas, Muhammad Al-Naquib, Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan Mochtar Zoerni, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib, Islam and Secularism, Kualalumpur, 1978.
Al-Faruqi, Ismail Razi, Islamisasi Pengetahuan, ter. Annas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Faruqi, Ismail Razi, Islamization of knowledge: the general principles and the workplan dalam Knowledge for what? Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986.
Ancok, Djamluddin, dan Suroso, Nashuri, Fuad. Psikologi Islam, solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Anees, Munawar Ahmad, “Menghidupkan Kembali Ilmu”, Al Hikmah, 3, 1991.
Anis, Ahmad, Reorientation of Islamic History: some methodological assues. In Islam; Source and Purpose of Knowledge IIIT. Herndon: The International Institut of Islamic Thought.
Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, ter. Rahayu S. Hidayat, Jakarta; INIS, 1994.
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
http // www. google. com / islamisasi ilmu pengetahuan
Khalil, Imanuddin, Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Sejarah, Jakarta: Media Dakwah 1994.
Nashari, Faud, Psikologi Islami: Agenda Menuju Aksi, Pasimamupsi dan Pustaka Pelajar 1997.
Qomar, Mujamil, Epistimologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta; Erlangga, 2002.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, ter. Ashin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Saefuddin, A.M, Desekulerisasi Pemikira: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1991.
Sardar, Zainiddin, Merombak Pola Pikir intelektual Muslim, terj. Agung Prihantoro dan Faud Arif Fudyartanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Kamis, 28 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar