Kamis, 28 Mei 2009

SEJARAH PERKEMBANGN FILSAFAT ILMU

Priode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradapan manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris.
Mencintai kebenaran/pengetahuan adalah awal proses manusia mau menggunakan daya pikirnya, sehingga dia mampu membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada dongeng dan tahyul, tetapi lama-kelamaan, terutma setelah mereka mampu mmbedakan yang rill dengn yang ilusi, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiyah. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagat raya.
Karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri, timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya; dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiaanya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi pertanyaan dikalangan filisof Yunani, sehingga tidak heran kemudian mereka juga disebut dengan filosof alam karena perhatian yang begitu besar pada alam. Para flosof alam ini juga disebut filosof raksocrates, sedangakan Socrates dan setelahnya disebut para filosof pasca Socrates yang tidak hanya mengkaji tentang alam, tetapi manusia dan perilakunya.
Puncak kejayaan filsafat Yunani teradi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu system: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Fisafat Yunani yang rasional boleh dikatakan berakhir setelah Aristoteles menuangkan pemikirannya. Akan tetapi sifat rasional masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya sampai sebelum filsafat benar-benar memasuki dan tenggelam dalam abad pertengahan. Namun jelas, setelah priode ketiga filosof besar itu mutu filsafat semakin merosot. Kemunduran filsafat itu sejalan dengan kemunduran politik ketika itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Macedonia menjadi pecahan-pecahan kecil setelah wafatnya Alexsander the greate. Tepatnya pada ujung zaman Helenisme, yaitu pada ujung sebelum masehi menjelang Neo-Platonisme, filsafat benar-benar mengalami kemunduran.
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu. Pertama, periode filsafat Yunani (Abad 6 SM-0 M). Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales yang ahli filsafat, astronomi dan geometri. Dalam pengembaraanya intelektualnya menggunakan pola deduktif.
Aristoteles sebagai tokoh filsafat dan ilmu empiris menggunakan pendekatan induktif, sedangkan Phytagoras menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam aritmatika dan geometrinya. Plato sebagai orang yang ahli ilmu rasional dan filsafat menggunakan pendekatan deduktif. Yang pasti pada periode ini para filosof dan intelek pada masa itu menggunakan dua metode yaitu metode filosofis deduktif dan filosofis induktif dan empiris.
Kedua, periode kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M). Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
Ketiga, Periode kebangkitan Islam (Abad 6-13 M), pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami kegelapan, ada juga yang menyatkan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku ilniah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Keempat, periode kebangkitan Eropa (Abad14-20). Pada masa ini Kristen yang alam berkauasa danmenjadisumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, abad kemunduran umat Islam berbagai pemikiran Yunai muncul, aluyr pemikiran yang mereka anut adalah empirisrme dan rasionalitas. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunai islam. masa ini juga muncul intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina The canon of medicine , Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme danrealisme berusaha mnenentang berbagaikebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa, masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen katolik dan protestan.perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung, revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat, apakah revolusoi dalam bidang teknik maupun intelektul. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
KLASIFIKASI ILMU DALAM ISLAM

I. Sumber dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan, memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif.
Al-Qur’an menganggap ”anfas” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.
II. Keterbatasan Ilmu
Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan alat-alat kognitif yang alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi.
Keterbatasan ilmu manusia tidak menghilangkan makna ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar manusia dapat mengenal eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan mengantarkan manusia kepada Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu hingga zaman komputer.
III. Ilmu-Ilmu Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan tetapi dirinya bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti inilah yang disebut sebagai ilmu yang semu karena tidak membawa manusia kepada tujuan hakiki.
1. Sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah SWT, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
2. Terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka.
3. Mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
IV. Klasifikasi Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang berkemban, diantaranya klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Al-Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M).
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar, yakni ilmu-ilmu Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah Swt baik dalam kitab-Nya maupun Hadits-hadits Rasulullah Saw, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah berkembang sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, diantaranya Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhulanbiya, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam Ulumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan lain-lainnya.
Bersumber pada ayat-ayat Allah Swt, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
ISLAMISASI ILMU PENGETAUAN

Hegemonis Sains dan teknologi barat atas masyarakat negara-negara di seluruh dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan kehidupan masyarakat. Meraka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola pemikiran dari sains barat, sehingga cara berfikirnya, cara pandangnya, dan persepsinya terhhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi inflikasinya menjadi terbaratkan. Dalam sejarahnya, sains barat modern dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan tradisi pemikiran agama (kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling meyolok yang disipkan kedalam sains barat modern itu adalah sekularisasi. Konsep sekulasasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para ilmuan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok intelektual lainnya, dan masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekularisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini publik pada tingkat global.
Ada berapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan konsep sekularisasi pengetahuan barat modern itu. Mereka adalah kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim ketika mengikuti arus perkembangan sains modern dari Barat, mereka sadar maupun ”terpaksa” harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler yang sangat kontras. Selama ini agama Islam dipedomani sebagai jublak dalam menempuh kehidupan sehari-hari. Tidak ketinggaln juga, agama diyakini memiliki peranan untuk mewarnai bangunan ilmu pengetahuan dan unsur-unsur lain yang terikat. Namun kenyataannya mansyarakat muslim seolah dipaksa untuk melaksanakan ajaran sekuler (sekularisme) dalam seluk beluk kehidupan lantara derasnya arus sekularisasi. Secara riil sekarang ini mereka semakin menjauhi nilai-nilai religius islam. Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan para pemikir muslim, sebab bisa membahayakan keimanan (akidah) islam.
Berkaitan dengan kepribadian itu, mereka sedang menggagas islamisasi pengetahuan sebagai upaya untuk menetralisir pengaruh sains barat modern sekaligus menjadikan islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Mereka berupaya membaersihkan pemikiran-pemikiran muslin dari pengaruh negatif kaidah-kaidah berfikir ala sains modern, sehingga pemikiran muslim benar-benar steril dari konsep sekuler. Al attas mengatakan, bahwa islamisasi ilmu berarti pembahasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan sekuler. Banyak pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan daat digeser dan diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan islam, manakala ”proyek islamisasi pengetahuan” benar-benar digarap secara serius dan maksimal. Sebagai tindak lanjut dari gagasan-gagasan normatif itu, para pemikir muslim harus berupaya keras merumuskan islamisasi pengetahuan secara teoritis dan konseptual yang didasarkan pada gabungan antara argumentasi rasional dan petunjuk-petunjuk wahyu.
Usaha tersebut sangat berat, karena harus mengarahkan seluruh potensi para ilmuan muslim yang mengacu pada petunjuk wahyu Tuhan.ini baru beban secara teknis, belum lagi beban secara psikologis. Secara psikologis mengembalikan cara pandang atau persepsi masyarakat muslim terhadap konsep-konsep ilmu pengetahan yang telah lama tersekulerkan dan terbaratkan menuju persepsi yang sarat nilai-nilai islam bukanlah pekerjaan yang ringan. Pekerjaan ini membutuhkan keuletan-keuletan sikap, sosialisasi yang gencar, proses secara kontinuitas, disamping tentu saja argumentasi-argumrntasi yang tidak saja cukup rasional, tetapi lebih itu semua seyogiyanya mampu mengungguli argumentasi-srgumentasi yang dibangun para ilmuan barat. Kita menyadari, bahwa ilmuan-ilmuan barat dalam mendasari ilmu pengetahuannya dikenal sangat rasional, mengingat bahwa salah satu pendekatan yang diandalkan dalm membangun kerangka ilmu pengetahuan adalah pendekatan rasional. Hanya saja masih ada celah-celah hasil pemikiran mereka itu, jika dicermati secara mendalam apalagi ditinjau dari perspektif pesan-pesan islam.
Celah- celah kelemahan itlah yang dijadikan alasan perlunya islamisasi. Upaya islamisasi pengetahuan ini memiliki tujian yang jelas sekali, yakni secara substansi adalah untuk meluruskan pemiiran-pemikiran orang islam dari penyelewengan-penyelewengan sains modern yang sengaja ditanamkan. Kejelasan tujuan ini sebenarnya merupakan kekuatan tersendiri dalam melakukan proses memformulasikan islamisasi pengetahuan agar langkah-langkah yang ditempuh para ilmuan muslim dapat terarah mencapai sasaran yang tepat dan benar. Untuk itu Fazlur Rahman manyatakan, bahwa tujuan kaum muslimin untuk mengislamisasikan beberapa ilmu penetahuan tidak akan bisa dicapai sepenuhnya, kecuali bila mereka secara efektif melaksanakan tugas intelektual memerinci suatu metafisika islam yang berdasarkan Al-Qur’an. Suatu pandangan dunia islam pertama-tama haruslah, kalaupun untuk sementara, diupayakan apabila berbagai lapangan khusus dari upaya-upaya intelektul mau dikoherenkan sebagai dijwai oleh Al-Qur,an.
Metafisika islam, sebagaimana mengikuti petunjuk-petunjuk wahyu Allah (Al-Qur’an dan Sunnah) bukan hanya terdiri atas apa yang disebut sebagai sesuatu di baik alam secara kealaman, melainkan juga kalau dijabarkan bisa meliputi, persoalan-persoalan spiritual, kegaiban, eskotologis, dan berita-berita yang bakal terjadi di dunia yang penuh misteri. Untuk mengungkapkan sesuatu yang berada dibalik alam saja yang membutuhkan pengerahan segala kekuatan intelrktual manusia dan itupun tidak mungkin mampu menjangkau keseluruhan. Objek dibalik alam itu mungkin yang bisa dijangkau dan diungkapkan dengan penjelasan-penjelasan yang memuaskan hanya sebagian kecil, karna tidak kelihatan secara indrawi. Selebihnya, masih tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan oleh kemampuan akal manusia. Lagi pula, biasanya setiap suatu persoalan misterius itu bisa juga menghasilkan jawaban-jawaban yang berfariasi (lebih dari satu jawaban). Apalagi jika kemudian kita mengungkap pesoalan spiritual, kegaiban, ekatologis, dan berita-berita masa depan akan jauh lebih sulit lagi. Dalam persoalan-persoalan demikian konstribusi akal kecil sekali, hampir semua didasarkan pada petunjuk-petunjuk wahyu Allah yang memang lebih konperhensif kandungannya dibanding dengan buku-buku ilmiah.
Upaya perincian metafisika islam tersebut kendatipun berat, harus tetap diupayakan secara maksimal mengingat upaya ini merupakan konsentrasi dari proyek islamisasi pengetahuan. Sementara itu, menurut Ismail Razi Al-Faruqi, kewaiban pemikir muslim adalah melakukan islamisasi, untuk mendefinisikan dan menerapkan relevansi islam hingga ke item itemnya di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih jauh lagi, dia telah menawarkan konsep operasipnalnya berupa langkah-langkah proses islamisasi ilmu pengetahuan:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern: pengeraian kategoris
2. Survei disiplin ilmu
3. Penguasaan khazanah islam: sebuah ontologi
4. Penguasaan khaznah islam terhadap analisis
5. Penerapan relevansi islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya dimasa kini
7. Penilaian kritis terhadap khazanah islam: tingkat perkembangannya dewasa ini
8. Survei permasalahan yang yang dihadapi umat islam
9. Analisis kreatif dan sintetis
10. Penuangan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka islam: buku-buku dasar tingkat universitas
11. Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamkan.
Langkah-langkah yang ditawarkan ini memang cukup operasional, untuk memperoleh pelaksanaan islamisasi ilmu pengetahuan, meskipun begitu masih ada pemikir yang tidak menyepakati tawaran tersebut dikalangan yang dikenal ikut merintis islamisasi penetahuan, seperti Zainiddin Sardar. Dia memiliki tawaran sendiri dalam proses pelaksanaan islamisasi ilmu pengetahuan dan kebetulan berbeda dengan konsep Ismail Razi Al-Faruqi. Persoalan ini sebenarnya hanya menyanhkut perbedaan teknis semata yang tidak perlu dipertajam dalam bahasan ini. Sedangkan substansi persoalannya relatif sama, kedua-duanya menghendaki upaya maksimal untuk melaksanakan proses islamisasi pengetahuan. Kesepakatan ini tercapai setelah keduanya sama-sama merasakan keprihatinan terhadap pengaruh perkembangan sains modern terhadap masa depan tatanan kehidupan umat islam. Mereka mengalami ketertinggalan dalam segala bidang kehidupan, bahkan yang paling parah telah timbul gejala, bahwa mereka semakin jauh dari tatana islam yang semestinya. Hal ini merupakan gejala utama yang ingin diluruskan melalui islamisasi pengetahuan.
Oleh karena itu, apabila gagasan bagi modernisasi ilmu-ilmu islam yang lama dan islamisasi ilmu-ilmu yang baru mau diciptakan, maka kedua tonggak orisinal islam -Al-Qur,an dan Sunnah- mesti ditegakkan kembali dengan tegar agar semua konformitas-konformitas dan deformitas-deformitas islam historis bisa dinilai dengan jelas olehnya. Bagaimanapun bagi kaum muslim, Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber atau landasan bagi aktivitas berfikir mereka. Kedua sumber itu harus senantiasa difungsikan untuk menjadi pedoman atau juklak dalam menilai aktivitas berfikir mereka mulai dari kerangka berfikir, tujuan berfikir, cara-cara berfikir dan orientasi berfikirnya. Dari kedua sumber itulah bisa diketahui apakah kegiatan berfikirnya mengarah pada hasil-hasil yang negatif-destruktif yang bertentangan dengan ajaran islam. Suatu hal yang naif sekali, bila ada keinginan untuk melakukan ilamisasi pengetahuandengan mengabaikan kedua sumber tersebut. Sebagai sumber, keduanya jangan sekedar dijadikan pertimbangan aktivitas berfikir, tetapi harus dijadikan tempat berpijak.
Berdasarkan fungsi Al-Qur’an dan Sunnah tersebut dalam kegiatan berfiir manusia muslim, maka tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat mengklaim dirinya sepenuhnya islami, bila metodologi yang digunakan tetap berakar dari pradigma sains modern. Metode keilmun ini harus diislamisasikan terlebih dahulu, sebab bagi orang-orang non-mislim barat, metode ini menghasilkan ilmu yang sifatnya netral: walaupun kebenarannya sudah dianggap objektif, namun. Objektivitas itu belum diangap dapat diterima oleh Allah, karena kebenaran hanya ditunjukkan atau diberitahukan dalam Al-Qur’an. Kebenaran yang dicapai metode barat, jika ternyata riil, maka hanya sementara sifatnya, dan kebenaran yang objektif tersebut suatu ketika tertandingi oleh kebenaran yang juga mengklaim objektif. Dalam kenyataanya kebenaran objektif bisa berhadapan dengan kebenaran objektif secara berlawanan. Ini berbeda dengan kebenaran yang ditunjukkan oleh wahyu. Kebenaran yang digariskan Al-Qur’an itu sifatnya kokoh, pasti dan mutlak, sehingga tidak dapat ditandingi oleh kebenaran lainnya. Hanya saja, para ilmuan dan pemikir muslim dibebani untuk mencari atau menggali bukti kebenaran itu. Sedangkan kebenarannya sudah ada, tinggal menelusuri bukti-buktinya.
Bukti kebenaran itu dapat dicapai melalui percobaan-percobaan ilmiah terhadap petunjuk-petunjuk Al-Qur;an. Maka ada perbedaan mekanisme kerja dalam mencapai kebenaran di kalangan ilmuan barat dengan ilmuan muslim. Jika metode keilmuan barat dipakai untuk medapatkan kebenaran objektif yang sifatnya masih sementara maka kebenaran wahyu telah ditunjukkan lebih dahulu secara pasti, baru dicari bukti-bukti kebenarannya melalui metode-metode tertentu. Dengan kata lain, kebenaran yang dicapai melalui metode keilmuan barat berada di belakang sebagai jawaban terhadap upaya-upaya penggalian ilmu pengetahuan, sedangkan kebenaran wahyu berada di muka (telah ditentukan) baru kemudian dicari bukti-buktinya melalui pendekatan atau metode tertentu. Implikasinya, kita tidak perlu mencari kebenaran islam, karena kebenaran itu sudah ada. Kita hanya diwajibkan mencari dan menjelaskan bukti-buktinya. Meskipun demikian, kita juga distimulasi untuk melakukan penggalian-penggalian untuk ilmu yang sifatnya pengembangan agar dapat mencapai kemajuan dan kedsejahtraan manusia secara keseluruhan tanpa diskriminatif sedikitpun.
Hal ini merupakan konsep ”universalisme” ilmu pengetahuan islam sesuai dengan misi islam yang berupaya memberikan rahmat bagi smesta alam. Konsep ini sebenarnya, jika dicermati secara kebahasaan tidak hanya manusia saja yang perlu di sejahterakan, tetapi juga haris melindungi kelestarian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Belakangan ini, lingkungan hidup telah menjadi rusak dan telah memusnahkan berbagai jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan akibat penerapan sains barat yang tidak memiliki kepedulian dan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Lingkungan hidup manusia menjadi tidak ramah, bahkan garang dengan musnahnya sebagian besar hewan dan tumbuhan itu. Alam terasa tidak nyaman lagi untuk kehidupan manusia. Atas dasar ini, ilmu pengetahuan dalam islam harus dibangaun dengan misi mengedepankan kesejehteraan manusia dan tetap menjaga kelestarian alam. Ilmu tersebut tidak boleh menyebabkan kerusakan atau membahayakan umat manusia maupun kelompok tertentu, seperti yang terjadi pasailmu barat.
”Senjata-senjata epistimologi” yang dipakai ilmuan barat untuk membawa deislamisasi pikiran kaum muslim selalu sama, dan ini adalah –selain dari prinsip-prinsip filsafat dan ilmu pengetahuan sekuler yang memproduk dan mengasuh mereka- antropologi, sosiologi, linguostik, psikologi, serta prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan ala barat. Jika prinsip-prinsip dan metode-metode pokok dari ilmu-ilmu ini tidak dirancang berdasarkan formula islamisasi, maka ilmu-ilmu tersebut akan tetap terus berbahaya bagi kemajuan kesejahteraan umat islam. Sementara itu kita kekurangan konsep. Karena kurangnya konseptualisasi inilah kita tidak dapat bertahan dari serangan gencar pemikiran-pemikiran sekuleris. Selama ini kita hanya mengandalkan ajaran-ajaran islam yang bersifat normatis tanpa ada usaha yang berarti menteorisasikan menjadi konsep-konsep yang mapan. Padahal usaha islamisasi pengetahuan tidak aka terwujud, jika tidak disertai konsep-konsep teoritis yang jelas. Kita tidak bisa melaksanakan islamisasi penetahuan hanya dengan menunjukan adanya ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi yng berkaitan dengan pengetahuan tertentu. Kita perlu mulai membangun konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berdasarkan islam mulai dari kerangka palinga awal hingga yang menyentuh inti pengetahuan.
Oleh karena itu, formulasi ilmu kontemporer yang perlu dibangun bukan hanya harus mensintesiskan apa yang disebut dengan ”sains keagamaa” dengan ”sains sekuler”, fisik dan metafisik, tetapi harus menempatkan aspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan. Penempatan aspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan ini untuk memperoleh bimbingan dari Tuhan dalam membangun ilmu pengetahuan. Hanya ilmu pengetahuan yang terbimbing oleh Tuhan sajalah yang mampu menyelamatkan manusia dari tindakannya sendiri, sebab ilmu ini selalu diwarnai oleh kontrol-kontrol islam secara ketat mengingat ilmu ini memiliki keberpihakan kearah kesejahtraan manusia dengan kuat dan tanpa kompromi. Penalaran manusia yang terbimbing oleh Tuhan akan menghasilkan pemikiran-pemkiran yang maju dan selamat bagi peradaban manusia. Kedua kondisi ini sebagai kondisi yang ideal bagi kelangsungan suatu peradaban: pemikiran yang maju dapat mengakibatlkan kejayaan peradaban tetapi keharmonisannya lebih ditentukan oleh pemikiran yang menyandarkan pada aturan Tuhan (pemikiran yang selamat).
Hal ini merupakan suatu manfaat islamisasi pengetahuan. Selanjutnya, islamisasi pemgetahuan memberikan keuntungan berupa epistimologi islam. Maka islamisasi pengetahuan perlu diupayakan secara maksimal agar dapat mewujudkan fungsi ganda, yakni sebagai penyelamat bagi umat islam, khususnya dari penyelewengan-penyelewengan penerapan sains barat, dan sebagai pemberi alternatif tentang cara-cara memperoleh penhgetahuan secara dinamis, mencerminkan nilai-nilai ketakwaan, kreatif dan produktif yang disebut dengan epistimologi islam. Namun, kedua fungsi itu tidak secara otomatis terwujud lantaran islamisasi pengetahuan. Islamisasi pengetahuan yang mampu mewujudkan kedua fungsi tersebut adalah islamisasi pengetahuan yang didasarkan dan dijalankan atas sebuah komitmen menyelamatkan sekaligus menyempurnakan kondisi umst islam. Islamisasi pengetahuan yang tidak didasarkan komitmen tersebut hanya akan terwujud dalam nama maupun selogan-selogan islam, tetapi tidak memiliki fungsi sama selkali. Islamisasi pengetahuan harus diproyeksikan untuk menjalankan kedua fungsi tersebut, dan bila ini benar-benar terjadi, berarti menentang tonggak intelektual barat.
Disamping itu, islamisasi pengetahuan juga berfungsi menghindarkan sikap latah dengan meniru sistem babrat. Sikap meniru sistem barat itu sungguh berbahaya. Jika kita meniru sistem tersebut secara membabi buta tanpa membangun infra struktur konseptual kita sendiri yang kikuh, maka secara tidak langsung kita telah menjadi sahabat pemberontak-pemberontak intelektual barat yang telah berusaha keras mencemarkan apa yang dinamakan pengetahuan ”religuan”. Dalam kasus ini, kita tidak dapat menyelamatkan muka kita hanya dengan menambahkan awalan yang tidak berarti –”islamisasi”- terhadap seluruh batang tubuh pengetahuan barat. maka upaya islamisasi harus menyentuh akar persoalannya yang paling utama, sehinga bisa jadi dilakukan pembongkaran-pembongkaran terhadap konsep ilmu pengetahuan selama ini yang kita pegangi untuk mentransformasikan kedalam konsep baru yang dipengaruhi oleh islam.
Sebenarnya islamisasi pengetahuan itu masih menjadi polemik di kalangan umat islam, seolah-olah layaknya barang antik yang baru diperkenalkan. Pembentukan dan proses islamisasi ilmu-ilmu sisial belum mendapat kesepakatan penuh dari umat islam. Islamisasi ilmu-ilmu sosialpun –yang sebenarnya lebih memungkinkan, daripada ilmu-ilmu eksakta- masih dipertentangkan oleh pemikir muslim; ada yang proislamisasi, bahkan mempropagandakan dan ada yang menentangnya. Para pemikir seperti Ismail Razi Al-Faruqi, Zainuddi Sardar, dan Muhammad Al-Naquib Al-Attas merupakan ”pelopor” proyek islamsasi pengetahuan, meskipun konsep-konsep operasional yang ditawarkan berbeda. Kemudian para pemikir, seperti Mohammed Arkoun dan Aziz Al-Azmeh menentangnya. Sedangkan Fazlur Rahman tidak jelar kecendrungannya. Dia cenderung menolaknya disasu sisi, tetapi disisi lain dia memberikan saran-saran tentang cara melakukan islamisasi pengetahuan. Mereka semua memiliki alasan masing-masing untuk mempertahankan sikapnya.
Apalagi dalam ilmu-ilmu eksakta, kebanyakan para ilmuan islam kalau tidak salah malah seluruhnya tentu menolaknya, kaena ilmu-ilmu eksakta bebas nilai dan baku. Paling hanya penggunaannya yang dikaitkan dengan islam dan ini sangat memungkinkan, karena dalam tahap rekayasa. Dalam tahapan rekayasa ini memang ada peluang untuk memasukkan nilai-nilai islam, seperti ketika seorang dikter muslim akan menyuntik pasien; dia terlebih dahulu membaca bismillah, atau sebuah team dokter muslim yang akan melakukan operasi lalu diawali dengan do’a bersama. Dengan begitu nilai-nlai agama lain juga dapat dimasukkan dengan cara yang relatif sama. Tetapi tentang jenis obat apa yang harus dipakai untuk mengobati penyakit tertentu, tentu tidak ada ruang bagi islamisasi pengetahuan. Dalam hal ini kaidah-kaidah ilmu murni yang dipakai pertimbangan dalam memutuskan.
Sekedar untuk diketahui, pada saat mengomentari upaya islamisasi pengetahuan tersebut Mohammed Arkoun mengatakan, bahwa usaha yang bertujuan menjadikan agama suatu ilmu malah mengubah ilmu menjadi agama. Kekhawatiran ini bisa menjadi kenyataan dikalangan umat islam. Pad tahap awal, seorang berusaha merumuskan teori-teori pengetahuan berdasarkan wahyu yang bersifat normatif. Namun, teori tersebut dianggap saklar, suci, benar mutlak dan sejenisnya. Padahal sebagai teori pengetahuan tidak lepas dari kontribusi para ilmuan yang bisa benar atau sebaliknya salah. Implikasinya bisa semakin fatal ketika teori tersebut diangap saklar, padahal ternyata harus menyerah dihadapan teori lain dari pemikiran manusia yang lebih valid kebenarannya. Apakah tidak malah akan menjeebak umat islam dalam keraguan terhadap ”kebenaran agamanya”, jika terjadi kasus tersebut. Inilah sesungguhnya bahaya islamisasi pengetahuan yang dirasakan para penenntangnya terutama Arkoun.
Lantaran kekhawatiran inilah, Arkoun lebih tertarik pada strategi mengubah cara berfikir yang efektif. Dia menegaskan, bahwa kita harus berfikir secara baru, dengan bahan-bahan yang baru pula. Sedangkan Fazlur Rahman menyarankan agar kita tidak usah terpikat untuk membuat pete-peta dan bagan-bagan mengenai cara menciphtakan ilmu islami. Marilah kita investasikan waktu, energi dan uang untuk menciptakan, bukan proposisi-proposisi, melainkan pikiran-pikiran. Tetapi sebenarnya kita tidak membahas setiap bidang ilmu pengetahuan yang berlebel islam mestinya harus melalui islamisasi pengetahuan dan selanjutnya epistimologi islam, seperti ilmu pendidikan islam. Tanpa islamisasi pengetahuan, bagaimana mungkin merumuskan konsep-konsep pendidikan islam secara ilmiah.
Usaha islamisasi pengetahuan tidak akan memiliki makna yang signifikan, jika tidak dilanjutkan dengan merumuskan epistimologi islam. Tetapi sebelum merumuskan epistimologi islam kiranya perlu mengenali karakter ilmu dalam islam.
Untuk dapat mengetahui lebih jauh mengenai islamisasi ilmu pengetahuan, kurang lebih ada 2 tokoh yang banyak berperan dalam islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu Syed Al-Naquib Al Attas dan Ismail Razi Al Faruqi, beberapa orang memandang Ziauddin Sardar juga termasuk penggagas islamisasi ilmu, oleh karena itu akan dijelaskan lebih lanjut mengenai biografi kedua tokoh tersebut dan pemikitannya mengenai islamisasi ilmu pengetahuan.
A. Muhammad Al-Naquib Al-Attas
I. Biografi
Beliau adalah ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 september 1931. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjawab sebagai Menteri Besar Johor.
Pendidikan formal beliau dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Universitas Malaya, Malaysia kajian ilmu-ilmu social (1057-1959). MA dari Mc Gill University Kanada di bidang teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies Universitas London Inggris (1966) dengan Disertasi “The Mysticism of Hamzah Fansuri”.
II. Pemikiran Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia termasuk dunia islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban barat. Sementara peradaban Barat sendiri telah melahirkan kebinggungan, kehilangan hakikat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, kekacauan dalam Tiga Kerajaan Alam, kehilangan kedamaian serta keadilan. Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisisme lalu diilmiahkan dalam metodologi.
Kebenaran dan realitas dalam panadangan Barat tidal diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang didukung dengan premis-premis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia , sebagai makhluk fisik dan makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktekkan Islam. Pengetahuan barat tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.
Muhammad Al-Naquib Al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian :
a. Ilmu-ilmu agama
1. Al-Qur’an: qiraat, tafsir dan ta’wil
2. Hadist: sirah Nabawi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif
3. Syariah: hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan praktek-praktek Islam
4. Teologi: tauhid (tentang Tuhan, wujudNya, sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya)
5. Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology
6. Ilmu-ilmu linguistic, tata bahasa, leksikografi, dan kesustraan
b. Ilmu-ilmu rasional
1. Ilmu-ilmu kemanusiaan
2. Ilmu-Ilmu alamiah
3. Ilmu-ilmu terapan
4. Ilmu-ilmu teknologi
Ide Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci lalu dimasuki unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsure-unsur dan unsure-unsur pokok, yang membentuk kebudayaan barat, dan ilmu-ilmu yang dkembangkan; kemudian memasukan unsure-unsur dan konsep-konsep Islam.
Islamisasi awal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah islamisasi bahasa, karena bahasa sesuatu yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan suatu masyarakat. Bahasa Islam yang dimaksud beliau adalah bahasa Arab yang baru. Karena bahasa Arab yang lama mengunakan konsep-konsep dan memuat pesan-pesan dalam world-view jahiliyah. Bahasa Arab yang baru adalah bahasa Alquran yang mengubah sruktur konseptual jahiliyah dan mempunyai sifat ilmiah.
Istilah-istilah Islam merupakan pemersatu umat muslim sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah” bukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau “Tuhan” dengan “T” besar ala Nurcholis Madjid.
Tentang surat Al-Maidah ayat 3, tentang kesempurnaan agama Islam, beliau pahami sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah menjadi suatu tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan dan perkembangan.
Wahyu sendiri dilengkapkan pada masa hidup nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menafsirkan hukum-hukum melalui pola hidup beliau. Hukum wahyu itu beliau polakan dalam ajaran, ucapan dan perbuatan. Para sahabat dan orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau berlaku dengan ilham ilahi sehingga dapat dijadikan standard a criteria bagi masa akan datang.
B. Ismail Razi Al-Faruqi
I. Biografi
Islamil Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme, ia memulai studi di College des Freres Libanon. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia peroleh daTi universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galile yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat terhenti.
Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun 1948, hingga mencapai gelar mater dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya ia kembali memperoleh gelar master di Harcard University, juga dalam bidang falsafat. Untuk memperdalam keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Selama beberapatahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi keislaman di McGill University (1958-1961) dan di Pana Central institute of Islamic Research, Karachi, sebagai tamu untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama di the University of Chicago, sebagai lektor kepala llmu agama pada Saracus University (1964-1968).
Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pemah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuan. Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut Intemasional pemikir Islam do Washington; dan presiden Institu studi Lanjutan Washington. Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978.
II. Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an. Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya menggilimunir unsurunsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi idiologi, makna serta ungkapan sekuler Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa adalah fakultas pemahaman yang mencakup seluruh fungsi gnosologi seperti ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dsb. Manakala kehendak-kehendak tersebut diungkap dengan kata-kata secara langsung oleh Tuhan kepada manusia dan manakala sebagaimana pola Tuhan dalam penciptaan atau "hukum alam". Dan bila kita kaitkan dengan prinsip telelogi artinya dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu ciptaan yang teratur, bukan chaos. Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud. Pemenuhan karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
Prinsip kedua yaitu tidak ada kontraksi yang hakiki melindunginya dari kontadiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skepetisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki menandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pemah dapat diketahui.
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hari intelektual. Ia memaksa untuk mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan wallahu' alam karena ilia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang dapat dikuasainya sepenuhnya di saat manapun.
Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul ide untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dan juga melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua ide Barat bahkan kadang-kadang tanpa filter yang akhirnya menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah yang kental mengalami proses sukurelisasi yang berobsesi memisahkan kegiatan sekuler dengan kegiatan agama akhirnya mengantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai keagaaman.
Semangat ilmuan moderen (Barat) adalah bahwa di bangun dengan fakta-fakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilainilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian mundul ilmu dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid. Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia, ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia dan ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan menentukan presepsi dan susunan realita.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai disiplin-disiplin moderen
2. Menguasai khazanah Islam
3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan moderen
4. Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen
5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan: Tugas petama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistim-sistim terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim yang dekuler.
Dengan perpaduan kedua sistim pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistim Islam menjadi pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkan sistim Islam. Al-Faruqi dalam mengemukakan ide Islamisasi ilmu pengetahuan menganjurkan untuk mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi siswa. Hal ini akan membuat para siswa merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh kepercayaan kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah.
Bagi AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim. Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah:
a. Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah knis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
b. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c. Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini.
e. Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah,dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
l. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar.
Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan. Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan usaha menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam. Maka rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, walaupun dilain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT. Dan tidak sedikit pula meresponinya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya seperti Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali tidak kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan.
Sebagian fakta berpendapat bahwa pemikir liberalisme Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasan Hanafi atau Arkun dapat dianggap sebagai bentuk pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan. Sementara kelompok lain menolaknya seperti, IIIT bahkan mereka mengkritik pemikiran yang dikemukakan oleh orang tesebut. Salah senanggap atas gagasan al-Faruqi adalah Fazlur Rahman, ia tidak sependapat dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, menurutnya yang perlu dilakukan adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiki kapasitas berpikir konstruktif dan positif.
Adapun menurut Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashiru sependapat dengan Al-Faruqi, karena menurutnya seorang pemikir akan sangat dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajarinya (atau ilmuan yang mendidiknya). Kalau seorang mempelajari ilmu yang berbasis sekularisme, maka sangat mungkin pendangan-pandangan juga sekuler. Adapun penanggap lain adalah Sardar. Ia menyepakati gagasan yang dikemukakan AI-Faruqi. Namun, menurutnya gagasan Al-Faruqi mengandung cacat fundamental. Sardar mengisyaratkan bahwa langkah Islamisasi yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan moderen bisa membuat kita terjebak ke dalam westemisasi Islam. Sebabnya menurut Sardar adalah AI-Faruqi terlalu terobsesi untuk merelevankan Islam dengan ilmu pengatahuan moderen. Upaya ini dapat mengantarkan pada pengakuan ilmu Barat sebagai standar, dan dengan begitu upaya islamisasi masih mengikuti kerangka berfikir (made of thought) atau pandangan dunia (world view) Barat. Karena itu percuma saja kita melakukan islamisasi ilmu kalau semuanya akhirnya dikembalikan standanya pada ilmu
pengetahuan Barat.
Terlepas dari semua polemik yang terjadi diseputar islamisasi ilmu pengetahuan, sebetulnya islamisasi ilmu pengetahuan yang dimunculkan Al-Furuqi, sebenarnya sederhana saja. Para pendukung ide ini ingin menekankan muatan dimensi moral dan etika dalam batang tubuh ilmu pengetahuan seperti yang dipesankan Al-Qur'an. AI-Faruqi tampaknya melihat bahwa untuk membangun umat tidak dapat dimulai dari titik nol dengan menolak segala bentuk hasil peradaban yang sudah ada. Pembentukan umat malahan harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari hasil peradaban yang sudah ada dan sedang berjalan. Namun, segala bentuk nilai yang mendasari peradaban itu harus ditambah dengan tata nilai baru yang serasi dengan hidup ummat Islam sendiri yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. AI-Faruqi melihat hanya dengan cara seperti ini visi tauhid yang telah hilang akan dapat kembali ke dalam misi pembentukan ummat. lnilah barangkali yang merupakan pokok pemikiran Al-Faruqi dalam bidang pendidikan sebagaimana yang di kemukakannya alam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Pendapat yang tidak kalan pentingnya yang berkenaan dengan proses islamisasi adalah menurut S.A. Ashraf, para ilmuan masa kini selayaknya menyadari bahwa pengembangan kegiatan ilmuan Islam yang ideal harus didasarkan pada sejumlah asumsi dasar sebagai berikut ini: "Pertama konsep tentang manusia menurut agama Islam sangat lengkap dan lebih baik dari konsep tentang manusia lainnya. Menurut ajaran Islam manusia berkemungkinan untuk menjadi Khalifullah dengan cara menanamkan dan mengamalkan beberapa sifat Tuhan. Oleh karena semua dimensi sifat Tuhan itu tidak terbatas, maka pengembangan aspek moral, spritual dan intelektual manusiapun tidak terbatas. Kedua, oleh karena pengetahuan merupakan kunci kemajuan dan pengembangan tersebut. Maka Islam tidak menghalangi upaya untuk menuntut pengetahuan. Ketiga, pengembangan tersebut harus bersifat menyeluruh mendayagunakan potensi intelektual, pengembangan yang tidak menyeluruh akan menimbulkan ketidakseimbangan. Keempat, aspek spritual, moral, intelektual, imaginatif emosional dan fisikal manusia harus diperhatikan dalam upaya pengkaitan berbagai disiplin ilmu. Kelima, pengembangan kepribadian manusia harus dilakukan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam Oleh karena itu, penataan disiplin ilmu dan penyusunan pokok batasan harus dirancang dengan mempertimbangkan manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk yang harus hidup berdampingan secara damai dengan alam" Pendapat di atas sangat menarik untuk direalisasikan alam rangka Islamisasi ilmu pengetahuan.
Memang terdapat banyak kelemahan struktural dalam pengembangan ilmu dikalangan masyarakat muslim dewasa ini, semua kelemahan tersebut perlu diperbaiki oleh para perancangnya. Para ilmuan muslim menyadari bahwa pengetahuan Barat itu buuruk dan pengetahuan Islam itu baik. Tetapi terlalu sedikit analisis terhadap kemampuan dan karya sendiri. Sebagaimana dikemukakan Ahmad. Bahwa beberapa ilmuan muslim, misalnya Al-Faruqi menyarankan agar ilmuan sosial muslim memainkan peran revolusioner, dan menghendaki pengembangan peran yang mencakup wilayah agama. Tentu saja pandangan muslim terhadap hal ini, ditentukan oleh sejauh mana pengetahuan mereka tentang masyarakat sebagaimana adanya bukan sebagaimana seharusnya (seperti yang sering dibayangkan oleh para ahli teologi).
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini lahir karena AI-Faruqi sendiri konsisten dengan konsep tauhidnya dan karena ingin memumikan ajaran tauhid Al-Faruqi menginginkan apa yang dibawa barat tidak harus diterima secara mentah oleh umat Islam. Di samping itu konsep ini muncul karena melihat kondisi obyektif umat Islam yang mengalami kemandegan dalam pemikiran yang disebabkan oleh kolonialisme Barat.

KESIMPULAN

Sebagaimana diungkapkan dalam pembuka tulisan ini, posisi gerakan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah “kontra-hegemoni” sekaligus “ideologi perlawanan” terhadap upaya dominasi peradaban Barat yang mencengkeram baik lewat kolonialisme, neo-kolonialisme maupun “invasi pemikiran”, jelas sangat penting. Lebih tegas, ia adalah sesuatu yang sah secara intelektual maupun politis. Bahkan merupakan hak dunia Islam, yang sayangnya, memang sebagian besar berada di dunia ketiga–sebagaimana bagi entitas kebudayaan dan peradaban lainnya–untuk mempertahankan identitas maupun jatidiri kebudayaan dan peradabannya dengan merujuk pada akar tradisinya sendiri.
Satu hal yang kiranya perlu tetap disadari, bahwa setiap hasil pemikiran manusia, selalu bersifat historis: terikat dengan ruang dan waktu yang melingkungi sang pemikir. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, tentulah memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan bingkai ruang dan waktunya. Itu merupakan sebuah upaya solusi terhadap berbagai problema keumatan yang memang nyata keberadaannya.
Menjadi penting bagi kita, pada satu sisi, mengapresiasi dan membuka ruang dialog bagi gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai suatu sumbangan sekelompok sarjana Muslim terhadap peradaban umat manusia. Dan pada sisi lain, menjaga agar gerakan tersebut berada pada bingkai kerja ilmiah, yang ukuran kebenarannya adalah sejauh mana ia bisa konsisten terhadap premis-premis dasar yang dibangunnya. Juga sejauh mana ia bisa mengatasi ujian dan verifikasi ilmiah dari para pengkritiknya. Dan tentu saja, seberapa jauh ia bisa memberi maslahat bagi umat manusia; setidaknya memecahkan persoalan-persoalan yang dijadikan isu utama. Sangat naif, jika kemudian terjadi penggeseran orientasi gerakan ini, dari yang sifatnya ilmiah menjadi politis dan ideologis. Sehingga gagasan tersebut menjadi gagasan yang tertutup karena dianggap sudah final kebenarannya atau bahkan diyakini tidak bisa salah karena “berasal dari Tuhan Yang Maha Benar”. Wallahu a’lam bisshawwab.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Amin, Filsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Al-Attas, Muhammad Al-Naquib, Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan Mochtar Zoerni, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib, Islam and Secularism, Kualalumpur, 1978.
Al-Faruqi, Ismail Razi, Islamisasi Pengetahuan, ter. Annas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Faruqi, Ismail Razi, Islamization of knowledge: the general principles and the workplan dalam Knowledge for what? Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986.
Ancok, Djamluddin, dan Suroso, Nashuri, Fuad. Psikologi Islam, solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Anees, Munawar Ahmad, “Menghidupkan Kembali Ilmu”, Al Hikmah, 3, 1991.
Anis, Ahmad, Reorientation of Islamic History: some methodological assues. In Islam; Source and Purpose of Knowledge IIIT. Herndon: The International Institut of Islamic Thought.
Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, ter. Rahayu S. Hidayat, Jakarta; INIS, 1994.
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
http // www. google. com / islamisasi ilmu pengetahuan
Khalil, Imanuddin, Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Sejarah, Jakarta: Media Dakwah 1994.
Nashari, Faud, Psikologi Islami: Agenda Menuju Aksi, Pasimamupsi dan Pustaka Pelajar 1997.
Qomar, Mujamil, Epistimologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta; Erlangga, 2002.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, ter. Ashin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Saefuddin, A.M, Desekulerisasi Pemikira: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1991.
Sardar, Zainiddin, Merombak Pola Pikir intelektual Muslim, terj. Agung Prihantoro dan Faud Arif Fudyartanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
DASAR-DASAR PENGETAHUAN

A. Definisi Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Phisolophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.
Sedangkan secara terminologi akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahuai atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, lnsaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (Kebenaran, Kepastian). Disini subjek sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimaa persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya.
Orang pragmatis, terutama John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran. Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.

B. Jenis Pengetahuan
Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanudin Salam, mengatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
1. Pengetahuan biasa
Yakni pengetahuan yang didalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu merah karena memang itu merah, benda itu panas karena memang dirasakan panas dan sebagainya.
Dengan common sense, semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai untuk menyiram bunga, makanan dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan tadah hujan dan sebagainya.
2. Pengetahuan ilmu
Yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit sciense diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif.
Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara objektif, tujuannya untuk mengembangkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu oblektif dan mengenyampingkan unsur pribadi, pemikiran ligika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian, karena dimulai dengan fakta. Ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif. Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati pancaindera manusia.
3. Pengatahuan filsafat
Yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemukiran yang bersifat kontemlatif dan spekulatiif. Pengetaahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang relatif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
4. Pengetahuan agama
Yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusanNya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yakni ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang seeing disebut dengan hubungan horizontal. Pengetahuan agama yang lebih penting disamping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang Hari Akhir. Iman kepada Hari Akhir merupakan ajaran pokok agama dan sekaligus merupakan ajaran yang membuat manusia optimis akan masa depannya. Menurut para pengamat, agama masih bertahan sampai sekarang karena adanya doktri tentang hidup setelah mati karenanya masih dinutuhkan.

C. Hakikat Pengtahuan
Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental. Megetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fahta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaaran atau jauh dari kebenaran?

Ada dua teori untuk mengetahui hakekat pengetahuan itu, yaitu:
1. Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut relisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
Ajaran realisme percaya bahwa sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat didalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
2. Idealisme
Teori ini menjelaskan bahwa untuk mendapatkan penmgetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mestahil, pengetahuan adalah proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif,oleh karena itu pengetahuan bagi seseorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif tentang realitas, penetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran.

D. Teori Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq.
Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita).
Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

E. Sumber Pengetahuan
Ada beberapa pendapat mengenai sumber pengetahuan antara lain:
a. Empiris
Menurut aliran ini mausia memperoleh pengetahuan melalui pengaklamannya.
b. Rasionalis
Menurut aliran ini akal merupakan dasar kepastia pengetahuan, pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal, manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
c. Intuisi
Intuisi merupakan hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggikemampuan inimirip dengan insting namun berbeda debgan kesadaran dan kebebasannya.
d. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para Nabi.

F. Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan ?
Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal.
Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga.
Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.
Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay).

G. Syarat dan Penghalang Pengetahuan
Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.
Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :
1. Konsentrasi
Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
2. Akal yang sehat
Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.
3. Indra yang sehat
Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.
Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan.

H. Science / Ilmu Pengetahuan
‘Science’ merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalam pengetahuan ilmiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari sistem-sistem serta penjelasan tentang pola-laku sistem-sistem tersebut. Sistem yang dimaksud dapat berupa sistem alami, maupun sistem yang merupakan rekaan pemikiran manusia mengenai pola laku hubungan dalamtatanan kehidupan masyarakat yang diinstitusionalisasikan.
Dalam bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut: ‘Science is a sub-set of the information set on [human] scientific knowledge that describes the structure of systems and provides explanation on their behavioural patterns, wether natural or human institutionalized ones’. Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan.
Dalam pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik anutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah.
Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu.

I. Penalaran
Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaanNya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun pengetahuan ini terbatas untuk krlangsungan hidupnya. Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak, seperti itulah contoh pengetahuan yang dimiliki oleh binatang.
Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun makna kepada kehidupan. Semua itu pada hakekatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang meyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi mahluk yang bersifat khas dimuka bumi ini.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni:
1. Manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut.
2. Manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara berfikir seperti ini disebut penalaran.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran sebab berfikirpun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia bukan semata-mata mahluk yang berfikir namun manusia adalah mahluk yang berfikir, merasa, mengindra, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, disamping wahyu yang merupakan komunikasi Sang pencipta denga mahlukNya.

J. Hakekat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yamg berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berfikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir dan bukan dengan pesasaan, meskipun seperti yang dikatakan Pascal, hatipun memiliki logika tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakterstik tertentu dalam menentukan kebenaran.
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut dengan kriteria bebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan lamdasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertenu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat disebut ligika. Dalam hal ini maka dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir logis, dimana berfikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini patut kita sadari bahwa berfikir logis itu mempunyai konotasi yang bersifat jamak (plural) dan berfikir tunggal (singular). Suatu kegiatan bergikir bisa disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila ditinjau dari sudut logika yang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa yang dapat kita sebut sebagai kekacauan penalaran yang disebabkan olek tidak konsistennya kita dalam mempergunakan pola berfikir tertentu.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berfikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berfikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya sendiri pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berfikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berfikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Seperti kita sebutkan terdahulu tidak smua kegiatan berfikir mendasarkan diri pada penalaran. Berdasarkan kriteria penlaran tersebut diatas maka dapat kita katakana bahwa tidak semua kegiatan befikir berfifat logis dan analisis. Atau lebih jauh dapat kita simpulkan: cara berfikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka kita dapat membedakan secara garis besar ciri-ciri berfikir menurut penalaran dan berfikir yang bukan berdasarkan penalaran.
Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran, berfikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran seperti intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berfikir yang non analitik yang tidak mendararkan diri pada suatu pola berfikir tertentu. Disamping itu masih banyak bentuk lain dalam usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yaitu wahyu. Ditinjau dari hakikat uasahanya dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat membedakan dua jenis pengethuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil usaha manusia untuk menemukan kebenaran baik melalui penalkaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan.
Kedua, pengetahuan juga dapat ditinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Jadi dalam hal ini bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran melainkan juga telah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran tertentu. Untuk melakukan kegiatan tersbut maka kegiatan penalaran itu harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber pengetahuan pada darasnya pengetahuan yang dugunakan dengan penalaran bersumber pada rasio dan fakta. Rasio merupakan sumber kebenaran mengembangkan faham yang kemudian disebut dengan rasionalisme, sedangkan fakta yang dapat tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenara mengembangkan faham empirisme. Usaha yang kita lakukan dalam mengembangkan kekuatan penalara merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi. Oleh karena itu maka dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah kita terlebih dahulu harus menelaah dengan seksama penalaran deduktif dan induktif. Setelah itu akan ditelaah bermacam-macam sumber pengetahuan yang ada yaitu rasio, pengalaman, intuisi dan wahyu.

K. Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup:
1. Ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi;
2. Ilmu eksakta dan matematika;
3. Ilmu tentang ketuhanan dan methafisika.
Filsafat praktis mencakup:
1. Norma-norma (akhlak);
2. Urusan rumah tangga;
3. Sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.

L. Peran Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Didi (1997) ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan).
Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia.
Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) dan John Locke (aliran empirikal) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional.
Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris.
Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah. Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan).
Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan.
Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut).
Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah). Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan.
Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir dan. Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer.
Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya. Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan.
Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan.
Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius.

M. Kriteria Kebenaran
Tidak semua manusia memiliki persaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar termasu anak kecil dengan pikiran ke kakanak-kanakkannya memiliki kriteria kebenaran tersendiri teopri kebenaran didasarkan kepada teori keherensi. Jika kita menganggap bahwa semua manusia pasti akan mati hal ini adalah suatu pernyaataan yang benar maka pernyataan bahwa si polan adalah seorang manusia dan si polan pasti akan mati.
Faham lain adalah kebenaran yang berdasarkan teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pemngetahuan yang dikandung pernyatan itu berkorespondensi dengan objek yang dituju dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Kedua teori kebenaran ini digunakan dalam car berfikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan ligika deduktif jelas menggunakan teori koherensi. Sedangkan proses pembuktiannya dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu menggunakan teori kebenaran yang lain atau yang lebih dikenal dengan teori kebenaran pragmatis.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, cet. I.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2007).
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet. I.
http://syiena.wordpress.com/2008/03/21/filsafat-ilmu-pengetahuan/
Ismail, Taufiq, Sadjak Ladang Djagung, Jakarta: Budaja Djaja, 1973.
Jalaludin, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Salam, Burhanuddin, Logika Materil, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, cet. I.
Salam,Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet. IV.
Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Watloly, Aholiab, Tanggung Jawab Pengetahuan Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural, Yogyakarta: Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, 2001.
KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN SEKULER

Secara bahasa istilah sekularisme berasal dari kata saeculum yang memiliki dua dimensi, yang pertama adalah dimensi ruang dengan pengertian di sini dan yang kedua adalah dimensi waktu dengan pengertian saat ini. Sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang didasari akan pandangan di sini dan saat ini.
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional. Sekularisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara rasional dan logis.
Ilmu sekuler mengaku diri sebagai objektif, value free bebas dari kepentingan lainnya. Tetapi, ternyata bahwa ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atas manusia. Ilmu menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan. Sekularisme muncul karena klaim yang berlebih-lebihan dari ilmu. Juga muncul karena antroposentrisme dan diferensiasi filsafat. Dunia yang sekuler diramalkan oleh ilmu sebagai masa depan manusia. Kalau dahulu antroposentrisme dan diferensiasi terbatas dalam ilmu dan perilaku, sekarang ini sekularisme telah menjadi aliran pemikiran menggantikan keyakinan agama. Seluruh kehidupan menjadi spiritualitas dan menjadi kesadaran kosmis. Sekularisme adalah eskatologi manusia modern.
Perkembangan ilmu sangat pesat, terlihat dengan bermunculan cabang-cabangnya. Kondisi ini didukung oleh gerakan spesialisasi bidang-bidang kajian. Pada dasarnya perkembangan cabang-cabang ilmu bermula dari dua kelompok besar, yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan non ilmu-ilmun alam.
a. Ilmu-Ilmu Alam
Dalam perkembangannya, ilmu alam dibedakan dalam katagori ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu hayat. Pada dasarnya ilmu alam diarahkan untuk mengkaji tentang zat yang membentuk alam semesta. Pada perkembangannya, ilmu alam berkembang menjadi cabang-cabang seperti fisika, yang mempelajari masa dan energi, astronomi, yang mempelajari benda-benda langit dan ilmu-ilmu bumi yang mempelajari bumi semesta atau the earth science. Seiring dengan perkembangan ilmu maka kemudian tiap cabang ilmu juga berkembang lebih luas, misalnya ilmu fisika berkembang menjadi ratanting keilmuan seperti mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, dan lainnya yang bermuara dalam rumpun keilmuan ilmu-ilmu murni.
b. Non Ilmu–Ilmu Alam
1. Ilmu-ilmu sosial
Perkembangan ilmu sosial ternyata tidak secepat ilmu alam. Ilmu sosial berkembang dalam beberapa cabang keilmuan, seperti antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, ilmu politik dan lain sebagainya. Setiap cabang ilmu sosial kemudian berkembang lagi, misalnya antropologi yang terpecah menjadi arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi, dan lain sebagainya. Beberapa ilmu ini berkembang dari ilmu sosial terapan yang merupakan aplikasi berbagai konsep ilmu sosial murni sampai pada suatu bidang telaahan sosial tertentu. Pendidikan dan menejemen, misalnya merupakan ilmu sosial terapan yang aplikasikan konsep-konsep psikologi, antropologi, dan sosiologi.
2. Ilmu-ilmu humaniora
Humaniora adalah suatu cabang ilmu yang bertujuan mencapai kemanusiaan sesungguhnya, lebih berbudaya, atau dalam istilah budi darma, humaniora adalah ilmu yang mengacu pada hati nurani. Dalam pengertian klasik, humaniora adalah ilmu bahasa dan sastra latin dan Yunani. Secara luas, sekarang humaniora meliputi ilmu agama, filsafat, bahasa, sastra, seni, sejarah, dan hukum.
Landasan epistemologi humaniora dapat diciran dari:
a.Ciri khas: kekhasan humaniora terletak dalam objek dan subjek matter.
b.Cara menerangkan: humaniora memahami, memaknai, mengerti, menafsirkan dunia dalam manusia dan tidak menerangkan.
c.Objektivitas: humaniora tidak pernah mengklaim sebagai ilmu yang value free sepenuhnya, sebab setiap pemaknaan selalu melibatkan pemaknaannya.
d.Kualitas: manusia mempunyai free will dan kesadaran, karena itu, ia bukan benda yang sudah ditentukan oleh hukum-hukum.
e.Validitas: Validitas humaniora terletak dalam keabsahan sumbernya, yaitu tanda yang berupa kata-kata, isyarat, fakta, peristiwa, dan mind-affectedstructure.